Breaking News

Parsulam atau Parsolam

Saat mengikuti pesta atau resepsi pada pernikahan atau mangadati di Pakkat, semua level masyarakat akan sangat gembira mengikutinya. Pesta biasanya akan dilakukan di balairung, aula atau onan.

Tempat paling utama adalah onan, yaitu pasar yang digunakan sebagai pasar rakyat sekali seminggu. Onan di Pakkat adalah hari senin. Jadi onan, di luar hari senin dan pasar dadakan di hari minggu akan kosong dengan kios-kiosnya yang akan digunakan oleh masyarakat untuk menjadi aula besar resepsi.

Makanan utama dalam acara tersebut tentunya adalah babi yang menjadi menu utama setiap acara besar. Namun, adat menentukan bahwa penghormatan bagi mereka yang berpantangan dengan babi akan memberi tempat bagi mereka untuk mengurus menu makanan masing-masing.

Beberapa kelompok yang berpantang dari babi adalah mereka yang sedang sakit, teman-teman pentakosta yang masuk gereja di hari sabtu, para parmalim yang mengharamkan babi dan tentunya kami yang muslim.

Sebutan untuk mereka ini, khususnya yang muslim adalah parsulam atau parsolam. Saya tidak mengerti secara pasti asal kata ini dan darimana turunan katanya.

Namun bila diselidiki dengan cermat, maka parsulam berasal dari kata par dan sulam. Par astinya adalah orang yang. Parmitu; artinya orang yang suka mitu: mabuk, minum minuman keras. Parpakkat artinya orang Pakkat. Pardijabu artinya orang yang di rumah, biasanya ditujukan kepada istri yang menjadi subjek dalam rumah tangga.

Kata sulam atau solam identik dengan kata silom. Orang Batak, khususnya logat rambe Pakkat menyebut sesuatu yang bermula dengan huruf i akan menghilangkan huruf awalnya. Misalnya Islam menjadi Sulam atau Silom. Fenomena bahasa ini sangat kebalikan dengan lahzah Hindi, Parsi dan Arab yang sangat sulit menyebut kata yang bermula dengan S. Sehingga mereka akan mengeja Star dengan Istar dan Standard dengan Sitandard.

Jadi Parsulam menurut saya adalah istilah bagi mereka untuk menyebutkan kalangan Islam. Istilah parsulam ini muncul sebagai penghormatan atas perbedaan kalangan Islam dalam penyajian menu makanan saat mereka menghadiri acara-acara adat. Namun, secara umum, di mata adat semuanya sama kedudukannya.

Menu makanan para pasulam akan diberikan keputusannya bagi koki yang mengurus makanan mereka secara khusus. Tentunya kokinya adalah dari mereka sendiri. Dalam berbagai pesta adat yang saya ikuti bersama ibu saya di waktu kecil, terkadang menunya adalah kerbau, kambing atau ayam. Pernah juga menunya adalah ikan mas. Saya tidak bertanya khusus, waktu-waktu penyajiannya. Kapan disajikan kambing dan kerbau serta seterusnya.

Acara pesta adat di Pakkat, akan dimulai dengan undangan yang dibagikan berupa “Gokkon dohot Jou-jou”. Berupa selebaran kertas dan juga kadang berupa kapur sirih yang dibagikan ke setiap rumah. Cara terakhir ini adalah bentuk undangan dengan caranya yang paling aseli sejak dahulu kala. Sudah turun temurun dilakukan di masyarakat Batak Pakkat.

Para undangan akan membawa beras di dalam karung beras yang biasanya akan “dihutti” atau dibawa di kepala. Mereka akan berpakaian terbaik yang mereka miliki. Ibu saya akan mengenakan kebaya yang paling baik dia miliki. Kebiasaan ini sekarang ini sudah pudar karena, barang bawaannya sudah berubah berupa uang yang akan disetorkan kepada panitia di pintu masuk.

Tempat para parsulam akan disediakan khususnya di sebuah pelataran kios di onan. Acara makan dan resepsi dimulai dengan doa/tamiang bersama; biasanya dengan cara kristen atau sesuai dengan keyakinan agama host atau pengundang acara. Kemudian di lingkungan parsulam akan bergantian berdoa permulaan. Doa Pentakosta, setelah itu doa parmalim dan setelah itu do’a orang Islam.

Di dalam sebuah pesta yang dilakukan di rumah sebuah keluarga Cina yang sudah bermarga, semua undangan diletakkan di satu tempat. Artinya tidak akan dibedakan tempat bagi semua golongan tersebut. Biasanya semua orang sudah mafhum bahwa menu makanan yang akan disajikan adalah menu makanan umum yang dapat disantap oleh semua undangan.

Keluarga Cina tersebut bernama Pa Eng atau keluarga Gow Nong, yang saya sendiri tidak terlalu hafal keterusan namanya. Saya hanya mendengar tetua kampung memanggil mereka. Menurut orang-orang, keluarga mereka termasuk keluarga yang paling lama berdomisili di Pakkat, walau sebenanrnya mereka adalah pendatang dari Barus. Sekarang mereka sudah pindah ke Medan dan Siantar hanya tersisa putra-putrinya. Sebagain tetap katolik, ada yang sudah protestan dan ada yang Islam.

Dalam sajian makan pesta, menu yang mereka sajikan adalah ikan mas. Sebagian makanan memang adalah ayam. Tapi tentunya pemilihan menu ikan mas, bertujuan agar mereka menghemat biaya dalam menyewa koki khusus untuk memotng ayam dan kambing atau Kerbau bagi kalangan Islam.

Dengan memasak Ikan Mas, siapa saya akan bisa memakannya. Dalam memakan sajian ini, beberapa teman aktivis gereja yang iseng pernah menertawai yang muslim karena bagi mereka, sama saja muslim makan di piring yang telah-sebelumnya sudah dipakai untuk memakan babi.

Tapi orang muslim akhirnya terbagi dua dalam masalah yang sering dipertanyakan oleh kalangan non-muslim tersebut. Sebagian muslim ada yang bersikap bahwa mereka tidak akan mau untuk memakan sajian di piring atau wajan yang sebelumnya mungkin saja sudah dipakai untuk menyajikan babi. Tapi sebagian lagi berpendapat untuk mengabaikannnya. Mereka beralasan bahwa piring dan wajan, akan sulit untuk disamak setiap kali makan. Dan benda tersebut tidak dianggap haram sebagaimana daging babi dan anjing yang diharamkan.

Sama saja dengan pegangan orang berdiri di bis atau dalam proses menyalam orang Kristen. Apakah haram bersalaman dengan orang kristen yang mungkin saja di pagi harinya dia bersantap sarapan dengan menu babi atau anjing???? Okelah ini hanya masalah teologi dan fikih. Akan tetapi masyarakat muslim di sana, terlepas dari kondisi mereka yang mempunyai pengetahuan agama yang minim dengan tidak adanya dai atau pembimbing rohani, mereka tetap mempunyai kemampuan menelaah masalah-masalah dengan akal logika mereka.

Namun pergeseran adat sudah terjadi intens dan sangat parah sekarang ini. Hal ini terjadi khususnya bagi acara-acara adat di Medan dan Jakarta di luar bonapasogit. Dalam acara marga yang saya hadiri di Jakarta misalnya, sudah tidak ada lagi menu khusus bagi anggota marga yang beragama Islam, atau paling tidak parmalim atau keyakinan lainnya yang menafikan babi.

Menu sudah dibuat seragam tanpa memperdulikan keyakinan anggota marga tersebut. Hal inilah yang membuat tali ikatan adat masyarakat Batak di perantauan semakin merenggang, baik itu ikatan sosial maupun ikatan kekeluargaan. Seakan perbedaan dan diskriminasi ini dilestarikan untuk menunjukkan hegemoni golongan tertentu atas golongan lainnya.

Di dalam sebuah kesempatan, bahkan teman-teman ada yang berkelakar, bahwa kalau lapar yah.. makan saja.. kalau tidak silahkan keluar gedung untuk makan di rumah makan padang. Suatu sikap yang mencerminkan permusuhan, dibungkus dengan canda tawa yang menjijikkan. Saya yakin fanatisme sektarian ini akan memupus dan mengurangi kejernihan adat yang digariskan oleh nenek moyang para bangsa Batak dahulu kala yang sangat akomodatif dan toleransif dengan perbedaan.

Saya menjadi takut dan khawatir.. Adat Batak yang diagungkan banyak orang sekarang ini bukan lagi adat Batak yang sebenarnya, tapi adat Batak sektarian yang dianggap paling murni dan paling aseli. Sebuah kefanatikan sempit yang membawa kepada kebutaan sense dalam melihat peradaban Batak secara holistik.